Kamis, 19 November 2009

oleh2 dari 'GEMPAR SUMUT 2009'

Awalnya saya hanya ingin mengunjungi salah satu stand yang ada di acara GEMPAR SUMUT 2009 (Gema Pariwisata Sumatera Utara), stand BWS (Badan Warisan Sumatera). Hmmmmm . . . tetapi dengan prinsip 'sambil menyelam minum air' dan falsafah hidup 'always critis' akhirnya ya! beginilah jadinya, saya akan menulis seluruh hal yang saya lihat dari acara tersebut. Tapi saya akan tetap memperbanyak kritikan dari pada saran dan pujian.

Perjalanan di hari minggu, hari terakhir sekaligus penutupan acara ini. Saya berangkat dengan teman satu tim saya, mendekati lokasi acara lapangan Merdeka kota Medan seperti biasanya dalam acara yang fokus pada keramaian massa akan sangat sulit untuk mendapatkan lahan parkir, walaupun akhirnya saya mendapatkannya tepat di lahan parkir restoran cepat saji. Dari situ sebenarnya saya sudah dapat mengkritik, lahan parkir yang tidak memadai dan jika saja memadai pelaksanaan dan pengaturannya tidak terkoordinir.

Memasuki lokasi acara dari pintu sebelah barat lapangan Merdeka saya menjumpai beberapa pedagang kaki lima yang jumlah kakinya ternyata hanya dua, hahaha . . . ada pedagang mainan, rokok, makanan hmmmmm sate padang lengkap dengan gerobak nya pun ada. Itu masih di mulut pintu lapangan. Menjorok ke dalam saya menjumpai yang sepertinya stand resmi yakni arena permainan anak-anak dan stand pedagang yang sepertinya dikelola oleh panitia acara mulai dari stand baju, aksesoris (bukan tradisional, tapi metal dan rok en rol) hingga stand pedagang parfum yang menjual parfum secara 'cc an', hmmmmm benar-benar Indonesia kali bahhhhhhhh.

Panggung raksasa atau utama diletakkan panitia acara di utara lapangan Merdeka dengan ukuran yang hmmmm lumayan sangat besar, saya hanya pernah melihat nya kalau artis-artis ibukota berkunjung ke daerah ini saja. Tetapi sangat disayangkan, acara yang dihadirkan di atas panggung ini menurut saya benar-benar tidak ada kaitannya sama sekali dengan judul acara 'Gema Pariwisata Sumatera Utara', bahkan acara musik yang diusung dari pembukaan hingga acara penutupan benar-benar tidak berkait sama sekali. Yang kelihatan hanyalah budaya populer yang muncul di kalangan urban kota Medan. Pembukaan dibuka oleh artis ibukota Katon Bagaskara salah satu pentolan KLA Projek, nyambung gak? yang merasa haus hiburan ya pasti jawaban nya nyambung-nyambung aja, tetapi yang mengerti masalah budaya pasti akan terbahak-bahak melihatnya. Dan untuk acara penutupan nya ditutup oleh musisi lokal yang jelas tidak berasal dari kota Medan 'wak uteh', kenal gak? katanya sih mengusung budaya melayu, melayu yang mana? maaf ya! kalo saya terlalu pesimis.

Di tengah lokasi acara berjejer beberapa stand milik dinas dan instansi yang terkait dengan pariwisata daerah Sumatera Utara yang kelihatan nya ramai sihhhh, tetapi ketika memasuki salah satu stand ternyata ramai penjaganya saja. Dan pameran yang disajikan juga standard-standard saja, fuhhhhhh terus dimana pariwisata nya yang mau dipromosikan? di alun-alun lapangan terdapat beberapa stand mulai dari stand pakaian (clothing lokal kota Medan), ikatan alumni mahasiswa/i arsitektur USU, dan stand Badan Warisan Sumatera, clothing, arsitektur dan BWS ada hubungan tidak dengan pariwisata Sumatera Utara, kalau pun ada mungkin nanti saya rasa ketika mereka sudah mulai sadar akan pentingnya budaya yang kita miliki saat ini melebihi berjuta-juta lembar uang.

Terakhir saya hanya akan mengkritik stand Badan Warisan Sumatera, stand dengan ukuran standar dan beberapa penjaga stand yang sebagian kecil adik-adik saya ketika di universitas dahulu (kata nya sih mereka pejuang warisan-warisan sejarah yang ada di Sumatera). Dari stand BWS kali ini saya melihat mereka mengusung salah satu isu yang paling heboh atau dapat dikatakan mereka yang heboh sendiri yaitu isu penghancuran 'villa kembar' di jalan Diponegoro, beberapa foto sisa puing-puing bangunan villa kembar, dan beberapa foto aksi ketika terjadi aksi damai melawan penghancuran villa kembar. Tetapi itu hanya satu saja, sisanya yang dipamerkan adalah yang itu-itu saja dari tahun ke tahun sejak BWS didirikan, ada foto-foto lama yang dijual yang katanya untuk biaya operasional BWS, buku-buku dan merchandise-merchandise lainnya. Satu yang tidak terlepas dari pandangan mata saya adalah sekumpulan kertas yang dijilid mirip setebal jilidan tuntutan kasus Antasari Azhar huahahaha  . . . jilidan yang katanya daftar-daftar bangunan-bangunan yang akan dilindungi di kota Medan karena unsur-unsur sejarahnya. Pertama sekali melihat jilidan ini ketika tahun 2003, saat itu saya juga baru saja mengalami penggusuran dari rumah nenek moyang saya di daerah perumahan kereta api kota Medan.

Kumpulan itu ternyata hanyalah jilidan proposal perlindungan gedung-gedung bersejarah di daerah Sumatera Utara kepada pihak Dewan Perwakilan Daerah Sumatera Utara, kota Medan dan pemerintah daerah Sumatera Utara beserta pemerintah kota Medan. Proposal yang mungkin tidak pernah disetujui atau mungkin saja tidak pernah sama sekali dikirim kepada pihak-pihak yang terkait akan proposal tersebut.

Mau jadi apa kota ini jika manusia-manusia yang tidak mengerti akan pentingnya budaya masih meraja di daerah dan negeri ini.

SEKIAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar